Perkembangan Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia

Perkembangan Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia, yang sekarang merupakan Bahasa Nasional Republik Indonesia, mengalami proses yang panjang. Bahasa Melayu yang aslinya merupakan bahasa kelompok suku bangsa di kepulauan Indonesia, telah lama menjadi bahasa perdagangan di daerah pelabuhan di Indonesia. Di samping itu, bahasa Melayu digunakan pula dalam penyebaran agama Islam dan Kristen. Pertentangan-pertentangan setempat yang timbul sehubungan dengan kedatangan pedagang-pedagang Belanda, dan diakhiri dengan perjanjian-perjanjian dagang maupun politik, juga menggunakan bahasa Melayu di samping bahasa Belanda. Sekolah-sekolah bumiputera yang kemudian didirikan pemerintah Hindia Belanda direncanakan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Tetapi sejak awal abad ke-20, kepentingan daerah jajahan yang memerlukan tenaga-tenaga terampil rendahan yang memahami bahasa Belanda telah menggeser keberadaan bahasa Melayu. Karena itu sekolah-sekolah di kota banyak mengajarkan bahasa Belanda.

Sebaliknya perkembangan sosial di kota-kota menumbuhkan kelompok elite baru yang amat peka terhadap perubahan. Tanda-tanda pertama kepekaan terhadap perubahan itu dapat dilihat dengan lahirnya organisasi bernuansa politik, yang mencitacitakan kemajuan dan kemerdekaan bangsa, misalnya Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Indische Partij.

Sangat menarik untuk dicatat adalah mengenai bahasa yang digunakan di dalam kongres-kongres maupun publikasi organisasi tersebut. Budi Utomo, misalnya menggunakan bahasa Jawa, Melayu, dan Belanda. Sarekat Islam, menggunakan bahasa Melayu dan Jawa. Indische Partij menggunakan bahasa Belanda dan Melayu. Dalam kongres-kongres Sarekat Islam khususnya, bahasa Melayu telah mendapat "isi nasional". Hal ini bukan karena nama kongreskongres SI itu sebagai kongres nasional, melainkan karena wakil-wakil SI yang datang dalam kongres berasal dari berbagai penjuru Indonesia. Seorang wakil pelajar Indonesia di Nederland, yang aktif dalam gerakan nasional, dalam kongres Indonesisch Verbond van Studeerenden (Perserikatan Pelajar Indonesia) pada tahun 1918 di Wageningen mengusulkan agar bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah di Indonesia. Sementara itu, majalah pelajar Hindia Poetra yang terbit di Nederland juga menggunakan bahasa Melayu.

Di Indonesia perkembangan pers berbahasa Melayu dinilai sangat penting peranannya, karena pers itu langsung dapat dibaca penduduk pribumi, karena penduduk pribumi yang berbahasa Melayu besar jumlahnya dibandingkan penduduk Belanda maupun Cina. Pada mulanya pers berbahasa Melayu pemilik modalnya bangsa Belanda ataupun Cina, tetapi tidak jarang pemimpin redaksinya elit pribumi atau bersama-sama dengan redaksi bangsa Belanda. Umumnya yang duduk dalam dewan redaksi adalah guru bahasa Melayu. Peranan pers berbahasa Melayu mendapat perhatian masyarakat kala itu, lebih-lebih tentang tulisan-tulisan yang berkaitan dengan penindasan, misalnya tulisan E.F.E. Douwes Dekker dan sarjana Prancis Antonie Cabaton, pada tahun 1909.

Medan Priyayi, adalah berita mingguan dan kemudian menjadi harian merupakan pers yang sangat penting dalam rangkaian perkembangan awal pers Indonesia. Bukan hanya modal dan penerbitnya adalah orang Indonesia, tetapi nuansa isinya menunjukkan adanya kesadaran untuk menggunakan bahasa melayu sebagai media komunikasi untuk membentuk pendapat umum, terutama yang bertalian dengan berbagai persoalan masyarakat pada waktu itu. R.M. Tirtoadhisuryo, seorang pemimpin surat kabar Medan Priyayi, yang kemudian diserahi tugas untuk memimpin surat kabar Sarekat Islam, yaitu Sarotama.

Munculnya elit modern pada tahun 1924 yang terdiri atas para mahasiswa Indonesia di Nederland, mulai memimpin dan mengarahkan ide-ide Indonesia sebagai pengertian politik. Organisasi mereka semula bernama Indonesisch Verbond van Studeerenden berganti menjadi "Perhimpunan Indonesia", dan majalah organisasi itu juga menggunakan nama Indonesia, yaitu "Indonesia Merdeka". Kata Indonesia yang semula hanya dikenal dalam kepustakaan etnologi, ditingkatkan sebagai istilah identitas mereka. Sebagai kelanjutan ide Indonesia tersebut, maka di Indonesia pada tahun 1927 berdiri Partai Nasional Indonesia. Dilihat dari namanya saja sudah merupakan identitas politik baru, yang dapat mengatasi pengertian dan batas-batas suku bangsa dan keragaman budaya di Indonesia.

Elite Indonesia modern yang semula hanya pandai bahasa daerah dan bahasa Belanda, melihat kemungkinan pemakaian bahasa Melayu sebagai alat komunikasi politik. Hal ini, secara bersamaan disadari oleh pejabat-pejabat Hindia Belanda. Banyak kasus pers delict di masa Hindia Belanda, larangan terbit bagi brosur dan pers, antara lain karena kekhawatiran penggunaan bahasa Melayu dalam pers yang nuansa pemikiran-pemikirannya mudah dipahami penduduk bumiputra. Dalam hubungan ini dapat diambil sebuah contoh tulisan Ki Hajar Dewantara tentang "Als ik eens Nederlander was" (seandainya aku seorang Belanda) yang dicetak dalam edisi bahasa Belanda dan Melayu pada tahun 1913, dan oleh pemerintah Hindia Belanda dilarang diedarkan. Risalah itu diterbitkan untuk mengecam perayaan seratus tahun kemerdekaan Nederland yang akan diadakan di Indonesia.

Pada bulan Oktober 1928 pemuda-pemuda Indonesia mengadakan kongres kedua (tanggal 26-28 Oktober 1928), dan dalam kongres dihasilkan keputusan yang kini dikenal sebagai "Sumpah Pemuda". Salah satu keputusan penting kongres adalah: "Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia". Kata bahasa Indonesia dalam keputusan kongres merupakan keputusan yang menakjubkan dari sebuah kesadaran pemuda sebagai satu bangsa.

Semenjak itu penggunaan bahasa Indonesia diberbagai kesempatan sejalan dengan kesadaran identitas sebagai bangsa Indonesia, dan fenomena ini dapat dilihat dari karya-karya para penulis yang memiliki latar belakang budaya dan sosial berbeda. Karya sastra dapat dipandang sebagai hasil "arsitek" bahasa Indonesia, baik terbitan Balai Pustaka maupun di luar Balai Pustaka, yang merupakan upaya menuju kesempurnaan bahasa Indonesia. Karya-karya pujangga baru yang diterbitkan sejak tahun 1933 merupakan cermin hasil karya kaum intelektual yang sadar menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi modern di tengah-tengah perkembangan ilmu dan teknologi. Gerakan pendidikan Taman Siswa, misalnya, pada mulanya pendidikan yang dikembangkan Taman Siswa mengutamakan untuk mempertahankan dan mengembangkan nilai-nilai budaya Jawa, tetapi pada akhirnya para pemimpin mereka, pada 1930-1940, menerima prioritas mengutarakan pengembangan bahasa Indonesia.

Pada tanggal 1 Juni 1938 diadakan Kongres Bahasa di Surakarta. Kongres menghasilkan keputusan penting, yaitu:

  1. gagasan untuk mendirikan sebuah lembaga dan sebuah fakultas untuk mempelajari bahasa Indonesia,
  2. membuat tata bahasa baru sesuai dengan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam struktur bahasa Indonesia, dan
  3. bahasa Indonesia hendaknya dipakai sebagai bahasa hukum dan sebagai alat pertukaran pikiran di dalam dewan-dewan perwakilan.

Pers terkadang mewakili ideologi, agama, politik maupun budaya, yang dalam menuangkan pikirannya menimbulkan pro dan kontra. Namun demikian, nuansa ini justru sangat baik untuk menyempurnakan bahasa Indonesia. Polemik budaya yang terjadi antara tahun 1935-1939 antara kaum intelektual yang concern terhadap budaya dan bahasa Indonesia. Rangkaian polemik antara Sutan Takdir Alisyahbana, sarjana hukum dan sastrawan; dr. Sutomo dan dr. M. Amir, dokter dan politikus; Adinegoro dan Tjindarbumi, wartawan; Sanusi Pane, guru dan sastrawan; Ki Hajar Dewantara, politikus, pendidik dan budayawan; dan akhirnya Dr. Purbatjaraka, sejarawan dan budaya kuno. Dalam polemik itu, mereka menggunakan bahasa Indonesia dengan gaya mereka masing-masing.

Fraksi Nasional dalam Volksraad (Dewan Rakyat Hindia Belanda) di bawah pimpinan Moh. Husni Thamrin, seorang Betawi yang menjadi pemimpin politik terkemuka pada saat itu, melancarkan aksi menggunakan bahasa Indonesia di depan sidang Volksraad. Penggunaan bahasa Indonesia dalam sidang mendapat reaksi hebat, baik di dalam lingkungan Volksraad maupun pers Belanda. Apa yang dilakukan Husni Thamrin merupakan usaha pertama dalam mendobrak eksistensi bahasa Belanda dalam lembaga itu. Keberatan para pejabat Belanda sehubungan dengan aksi Fraksi Nasional dapat dimaknai oleh pers Indonesia sebagai "ketakutan penguasa kolonial Belanda terhadap kesadaran anak bangsa".

Dari paparan singkat tersebut di atas dapat diketahui bahwa penggunaan bahasa Melayu yang semula terbatas pada suku-bangsa, dan lambat laut menjadi bahasa golongan masyarakat. Dari bahasa golongan dan pergaulan kemudian menjadi bahasa perdagangan, bahasa untuk menyebarkan agama, bahasa perjanjian perdagangan dan politik, bahasa pers, dan atas dorongan pemuda dan elite modern kemudian menjadi bahasa nasional, bahasa Indonesia. Gaya bahasa dan bentuknya sesuai dengan golongan masyarakat atau perorangan pemakainya, sehingga dokumentasi penggunaan bahasa dari zaman ke zaman amatlah berguna. Gaya dan bentuk isi, serta motivasi penggunaan bahasa Indonesia sebenarnya mencerminkan perkembangan masyarakat Indonesia itu sendiri. Sejarah perjuangan penggunaan bahasa Indonesia merupakan salah satu saluran perjuangan nasional.
LihatTutupKomentar